SOLUSI SAKIT MAAG

Blog pengalaman sembuh sakit maag kronis | obat alami sakit maag | makanan sakit maag | cara sembuh sakit maag | pantangan sakit maag

http://solusi-sakit-maag.blogspot.com/2014/07/resensi-buku-rahasia-sembuh-sakit-maag.html

Bersilaturahmi Ke Rumah Pasien

Hobby saya ketika sehat memang bersilaturahmi. Terutama mengunjungi para pasien parah yang rumahnya jauh dari rumah saya, di pelosok desa bahkan dilereng bukit yang cukup sulit untuk dijangkau orang.

Percaya tidak ? Dikawasan kabupaten purworejo masih banyak tempat yang sulit dijangkau dengan sepeda motor, jadi harus berjalan kaki lewat jalan setapak, bahkan untuk bisa sampai kerumah pasien tersebut, saya musti merangkak memanjat tebing yang tak begitu tinggi, namun jika terpeleset jatuh pasti akan memar seluruh tubuh. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa perjalanan yang akan saya tempuh begitu sulitnya. Namun saya pantang menyerah.

Ya Allah, orang yang sehat saja harus berjuang keras untuk bisa sampai kerumahnya, apalagi betapa beratnya perjuangan bu Siti saat pergi kerumah saya untuk berobat beberapa waktu yang lalu. Luar biasa tekadnya untuk sembuh. Oleh karenanya, ketika bu Siti berobat kepada saya dan saya tanya rumahnya dimana dan bagaimana bisa sampai kerumah saya, maka saya bertekad untuk suatu hari akan mengunjungi rumah bu Siti sesegera mungkin. Namun niat ini tidak saya sampaikan kepada bu Siti sebelumnya. Iya kalau saya bisa menepati janji untuk mengunjunginya, kalau tidak ? Saya tidak mau membuat kecewa bu Siti jika saya telah berjanji mau datang namun ternyata saya tak bisa kerumahnya.

Bu Siti, demikian namanya, adalah penduduk desa yang sangat miskin dan sederhana hidupnya. Lama ia merasakan keluhan pada perutnya, namun tak pernah diperiksakan ke bidan atau kerumah sakit, karena tidak mempunyai uang untuk berobat. Suaminya hanya petani buruh yang tak pasti penghasilannya setiap hari. Anaknya banyak, dan masih kecil-kecil waktu itu. Saya tak mampu menghitung secara matematis bagaimana mereka bisa hidup setiap harinya, apalagi dengan ibu rumah tangganya yang sedang menderita sakit yang sangat sulit diobati, kanker servics ! Betapa mengenaskan. Namun Allah Maha Besar dengan segala kasih sayangNya.

Dari rumah saya bersama suami berangkat pagi-pagi benar. Naik angkot yang penuh sesak bersama para pedagang sayuran dan ibu-ibu yang pulang dari belanja bulanan ke pasar kota. Ya Allah, pernik-pernik kehidupan rakyat kecil yang kenthal sangat terasa dalam suasana ini. Naik angkot yang sudah usang, lamaaa sekali menunggunya hingga penumpangnya penuh, keringat mulai mengucur karena gerah meskipun matahari baru saja bersinar, penumpang sudah penuhpun sopir belum juga menstater mobilnya…ampun deh…gerutu saya dalam hati, rasanya pengin segera memutar kunci kontak yang sudah tergantung dimobil dan membawa sendiri angkot tersebut agar terbebas dari gerah dan jenuh menunggu.

Sebel banget ketika melihat supir masih ngobrol dan bercanda sesama temannya, padahal angkot sudah penuh…Eh ternyata setelah itu tak lama kemudian ada serombongan bapak-bapak yang menumpang angkot tersebut dengan bergelantung dipintu angkot, sehingga saya tak bisa melihat pemandangan disepanjang perjalanan karena terhalang oleh kaki-kaki bapak-bapak yang bergelayut dipintu angkot itu. Dengan wajah berseri karena angkot telah ‘full’ penumpang, maka supirpun segera memutar kunci kontaknya. Ya Allah, mulut saya terus membaca doa-doa keselamatan. Ngeri sekali rasanya. Karena sepanjang jalan yang kami lalui banyak tebing disisi kiri jalan dan hanya 2 meter disamping kanan badan jalan adalah jurang yang cukup dalam…jika supir tidak lihai mengemudikan mobilnya, sangat mengerikan akibatnya.

Namun keajaiban alam, konon belum pernah terjadi kecelakaan mobil masuk jurang didaerah itu. Saya dan suami yang belum pernah merambah jalan itu, kebat kebit juga nyali saya…pikiran dan hati saya tegang terus. Apalagi dijalan tanjakan, ketika mesin angkot terdengar menggerung-ggerung seolah tak lagi mampu beranjak maju, Ya Allah. Saya lihat supir dan semua penumpang tenang-tenang saja, seolah tak ada ketegangan sama sekali diwajah mereka masing-masing, aneh ! Mungkin karena mereka sudah setiap hari terbiasa dengan suasana itu. Naik angkot reyot, berjubel penuh sesak naik turun gunung, berkelok, meliuk, Ya Allah.

Rupanya supir menangkap kegelisahan saya, lalu bertanya :”Baru pertama datang keseni ya Bu?, tenang Bu gak apa-apa, kami sudah biasa tiap hari lewat jalan sini Bu”. Kata-kata supir mampu sedikit menenangkan hati saya…setelah beberapa jauh angkot berjalan, saya mulai bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, meski masih ada rasa ngeri melihat kondisi jalan yang menanjak, menikung, berkelok kanan berkelok kiri, apalagi kalau terjadi simpangan dengan kendaraan dari arah depan, pas berpapasan masing-masing kendaraan harus berkonsentrasi tinggi agar selamat tidak menyerempet atau masuk jurang…

Setelah dua jam sport jantung naik angkot reyot ini, sampailah kami dengan selamat sampai terminal colt tujuan. Saya bertanya sana-sini kepada orang-orang yang ada diterminal colt, alamat desa yang hendak kami tuju. Seorang anak muda mendekat kearah kami, sambil berkata :”Oh rumah Bu Siti saya tahu Bu, mari saya antar dengan ojek Bu, kesana tak ada mobil yang naik Bu”. Setelah terjadi kesepakatan ongkos ojek, saya tak menawar sama sekali, demi keselamatan. Kami menggunakan jasa 2 ojek. Satu untuk saya dan satu untuk suami saya. Suami saya menggangguk tanda menyetujui memakai 2 ojek, karena tak mungkin ‘cenglu’, bonceng telu atau tiga ha ha, mengingat terjalnya jalan yang hendak kami lalui.

Ya Allah, baru saja lepas dari ketegangan naik angkot reyot dan penuh sesak tadi, saya harus diuji nyali sekali lagi dengan membonceng ojek. Sebelum saya naik ke atas ojek, mata saya menyusuri jalan setapak yang akan saya lalui dengan ojek nanti, tinggi menuju keatas bukit meliuk seperti ular…Ya Allah, sudah setengah basah nih. Mau maju kena mundurpun kepalang basah. Mau lanjut ngeri sekali, tapi mau pulang sudah setengah jalan…Lah kenapa nyali saya jadi ciut sekali seperti ini? Seolah Tuhan sangat jauh entah dimana…iman mulai kendur. Ya Allah..dengan membaca bismillah yang teramat takzim sambil berserah diri sepenuhnya kepada Allah, akhirnya saya naik juga keatas goncengan ojek…Jalan terus merayap naik, berkelok, dan menikung, sempit sekali, belum lagi banyak batu-batu besar dijalan yang dilalui, terkadang juga lubang-lubang jalan yang menganga tak diperbaiki. Apalagi ketika tukang ojeknya berkata :’Bu, pegangan saya bu, kalau tidak nanti ibu bisa jatuh lho! ‘ Waduuh bagaimana ini ? Allah ampuni saya, saya benar-benar tidak membayangkan jika akan terjadi situasi yang sangat sulit ini. Saya butuh selamat, tapi waduh saya harus bersentuhan dengan tubuh orang yang bukan muhrim, Ya Allah bagaimana ini, padahal niat saya adalah untuk mengunjungi orang yang sakit parah dan pasti butuh dukungan.

Dilematis sekali. Ketika lama juga saya belum berpegangan tubuh Mas ojek yang saya goncengi tadi, tiba-tiba benar, hampir saja saya jatuh karena motor menghindari lubang yang menganga lebar tiba-tiba. Ya Allah, akhirnya saya dengan sangat terpaksa berpegangan pada tubuh Mas ojeknya tapi saya hanya memegangi jaket tebalnya. Astaghfirullahaladziim..Sesekali saya harus turun dari kendaraan dan motor hanya dinaiki oleh tukang ojeknya, jika medan memang teramat sulit untuk ditempuh, lalu saya naik goncengan kembali jika medan sudah dirasa aman.

Saya menghela nafas lega ketika motor itu berhenti, dan tukang ojeknya mengatakan :’Bu, sudah sampai bu, itu rumahnya diatas situ, nanti beberapa tikungan sudah sampai’ katanya.

Ya Allah saya kira sudah sampai betulan, ternyata saya masih harus naik keatas motor lagi, melewati jalan yang lebih sempit, tapi dikanan kirinya bukan jurang, namun kebun penduduk yang banyak ditanami jahe serta ketela pohon. Dan saya sudah tidak merasa khawatir lagi, karena jalan sudah lebih aman.

Baru beberapa saat merasa legaa, eh gedabrug… tiba tiba motor yang saya tumpangi terpeleset keluar dari jalan setapak, jatuh kekebun jahe yang ada disebelah bawah dari jalan yang kami lewati, masih Alhamdulillah…karena jatuhnya tidak begitu dalam hanya setengah meter. Tapi kaki saya lumayan sakit sehingga awalnya sulit untuk berdiri karena memar tertindih motor…Sambil tertawa geli campur nangis menahan sakit memar, saya berusaha untuk berdiri. Masnya tukang ojek juga terlempar dari sepeda motornya, tapi dengan gesitnya langsung berdiri dan menolong saya yang tertindih sepeda motor. Ia tersenyum geli sambil memohon maaf dengan sangat. Rupanya kejadian seperti itu bukan dianggap sebagai musibah, namun hal yang setiap saat sering terjadi, terutama jika malamnya habis turun hujan, jalan setapak dari tanah lempung memang licin jika terkena hujan.

Ya sudahlah memang saya harus mengalaminya demikian, sayapun tak banyak mengeluh. Setelah motornya diangkat dijalan, mas tukang ojek itu mempersilahkan saya untuk naik lagi diboncengan motornya. Saya geleng kepala, tak berani. Akhirnya masnya mengalah, menemani saya jalan kaki menuju rumah bu Siti, motornya ditinggal saja seenaknya dikebun dimana saya baru saja jatuh tadi...’Loh motornya kok ditinggal Mas?’ Tanya saya penuh heran. “Tidak apa-apa bu, disini aman, mau ditinggal berhari-hari gak bakal ada yang mengambil’ jawabnya. Subhanallah…betapa jujurnya orang-orang pedesaan, walau hidup mereka kekurangan, namun tak berminat atas milik orang lain yang bukan menjadi haknya. Jika setiap orang bisa berpikir demikian, alangkah damainya kehidupan ini.

Oh ya, ternyata sebelum sampai rumah bu Siti kami harus merangkak menaiki sedikit bukit untuk kemudian benar-benar sampai kerumahnya.

Alhamdulillah, akhirnya sampailah saya dirumah bu Siti... Sampai dirumah bu Siti, suami bu Siti, tukang ojek yang mengantar suami saya, dan suami saya sudah berada didepan rumah. Rupanya mereka semua menanti kami dengan gelisah, karena suami saya sudah sampai kerumah bu Siti mengapa sampai beberapa lama kok saya belum sampai juga. Ketika suami saya melihat kemunculan saya, langsung mengucap :’Ya Allah, syukur alhamdulillah’….dan kelegaan tergambar jelas diwajahnya.

Sebelum memasuki rumah bu Siti, saya sempat cerita kalau baru saja jatuh kekebun jahe, Alhamdulillah tidak apa-apa hanya ada sedikit luka memar dan pegal-pegal dibadan. Tergambar kecemasan diwajah suami saya, beliau mengerutkan dahinya. Namun tak bertanya apa-apa melihat saya masih segar bugar.

Tergopoh gopoh suami bu Siti segera mempersilahkan saya menuju kamar dimana bu Siti terbaring…Bu Siti..ternyata kondisinya sudah antara sadar dan tidak, ketika dalam kondisi sadar, melihat saya berada dikamarnya seperti tidak percaya, dia takjub ketika saya salami tangannya, lama tak dilepaskannya seolah mencari kekuatan, air matanya bergulir deras dipipinya yang sudah tinggal kulit membalut tulang, mulutnya sepertinya mengucapkan terima kasih yang amat sangat atas kunjungan saya, namun suaranya sudah tak mampu keluar dari mulutnya…saya tak mampu menahan tangis, air mata sayapun lama-lama tumpah tanpa dapat saya bendung lagi.

‘Sabar ya bu Siti, istighfar…mohon kekuatan dan kemudahan kepada Allah…’ ucap saya berbisik ditelinganya. Bu Siti kelihatan mengangguk penuh kepasrahan, kemudian pingsan lagi tanpa keluhan.

Suaminya bu Siti menceritakan kepada saya dan suami saya, bahwa sepulang dari rumah saya beberapa minggu yang lalu setelah minum jamu pemberian saya, kondisi sempat membaik, bahkan sejak itu jarang mengerang kesakitan, isterinya sangat senang karena sebelumnya perutnya selalu merasakan kesakitan yang tak tertahan, hingga sepanjang hari sering berteriak-teriak kesakitan.

Namun dua hari sebelum kedatangan saya, bu Siti sering pingsan dan tak sadarkan diri , ia bermaksud untuk membawa istrinya berobat ke saya kembali, namun kondisi fisik isterinya tak mungkin lagi bisa dibawa, dan isterinya juga merasa sudah tak kuat lagi untuk diobatkan. Ia sudah pasrah dan ikhlas atas sakitnya. Yang sekeluarga merasa lega, karena rasa sakit yang sangat diderita bu Siti sudah jauh berkurang sehingga mengurangi kegelisahan seluruh anggota keluarganya, dimana setiap saat harus mendengarkan jerit kesakitan dari Bu Siti, sementara semua tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.

Sebenarnya, saya tak tega untuk pulang, meninggalkan bu Siti dalam keadaan tak sadarkan diri, namun bagaimana lagi, dirumah saya masih mempunyai banyak tanggungjawab yang harus saya selesaikan untuk menolong banyak pasien yang mungkin besuk paginya akan berkunjung kerumah saya seperti hari-hari biasa. Ketika itu adalah hari Jum’at, saya biasa libur praktek pada hari Jum’at, maka saya sempatkan untuk berkunjung ke pasien-pasien yang perlu saya kunjungi.

Alhamdulillah, saya dan suami saya sudah kesampaian mengunjungi bu Siti, paling tidak sudah berusaha memberikan dorongan dan motivasi pada masa-masa kritisnya. Suami dan keluarganya, saudara-saudara bu Siti dan tetangganya penuh antusias menyambut kedatangan kami, terutama suaminya yang merasa sangat senang atas kedatangan kami hingga matanya berkaca-kaca.

Dengan berat hati, akhirnya saya dan suami saya terpaksa berpamitan pulang. Disepanjang perjalanan saya tak sempat lagi menikmati pemandangan alam yang sebenarnya sangat indah, puncak sindoro sumbing yang menjulang tinggi biru di kejauhan, lereng dan tebing gunung serta jurang disepanjang perjalanan dengan anak sungai yang meliuk dibawah sana, semuanya terlewatkan. Alhamdulillah kami 4 jam telah sampai kembali dirumah dengan selamat, dengan doa yang senantiasa terpanjat ke Hadlirat Allah, semoga bu Siti ikhlas, diberikan segala kemudahan dan diberikan yang terbaik dari Allah SWT.

Hari-hari kemudian aktifitas saya berjalan seperti biasa, menerima para pasien, memeriksa sakitnya, memberikan motivasi dan dukungan, memberikan jamu ramuan sendiri, dan memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus kepada setiap pasien yang datang berobat.

Sepuluh hari kemudian saya kaget ketika suami bu Siti datang lagi kerumah sendirian. Saya segera memaklumi apa yang sudah terjadi. Rupanya Allah sudah berkehendak atas bu Siti pulang kembali kepangkuanNya. Tiada lagi penderitaan bagi bu Siti, yang tinggal hanya kedukaan bagi suami bu Siti dan keluarganya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semoga bu Siti mendapatkan ampunan dari Allah SWT, mendapat tempat yang baik disisiNya, dan diterima amal baiknya ketika didunia.

Duka yang masih selalu terasa didada.
NiniekSS
Labels: Kisah Menarik

Thanks for reading Bersilaturahmi Ke Rumah Pasien. Please share...!

0 Komentar untuk "Bersilaturahmi Ke Rumah Pasien"

Back To Top