SOLUSI SAKIT MAAG

Blog pengalaman sembuh sakit maag kronis | obat alami sakit maag | makanan sakit maag | cara sembuh sakit maag | pantangan sakit maag

http://solusi-sakit-maag.blogspot.com/2014/07/resensi-buku-rahasia-sembuh-sakit-maag.html

Menemukan Tasbeh Merah delima Bagian 1

Bismillahirrahmanirrahiim...

Sahabat Niniek SS yang sedang sakit maag, 

Saya, jika menuturkan kembali kisah-kisah nyata yang pernah saya alami, sepertinya hal yang tak masuk akal, namun ini sungguh-sungguh terjadi, yang merupakan kebesaran dan kemurahan Allah Swt. Betapa bahwa Allah itu adalah Dzat Dengan Segala Maha.

Peristiwa ini terjadi di tahun 1992 ketika saya mondok di Sebuah Pesantren Putri Daerah Jember Jawa Timur. 

Saya adalah santri yang paling tua saat itu. Semua santri pada umumnya adalah masih anak-anak. Sekolah mereka ada yang SMP, SMA dan ada beberapa yang sudah kuliah. Saya sendirilah yang sudah berumah tangga waktu itu, umur saya saja sudah 36 tahun lebih. Ketika kisah nyata ini terjadi, saya mu'alaf, dan sedang proses bercerai dari suami saya yang non Muslim.

Oleh ibu Nyai saya tidak begitu dibebani dengan kuwajiban mengaji sebagaimana anak-anak yang masih sekolah. Namun saya tetap mengikuti setiap pengajian yang diselenggarakan dengan istiqomah. Apapun pengajiannya.

Didalam pondok pesantren, dengan keberadaan saya di pesantren itu,  justru anak-anak santri seperti mempunyai orang tua kedua. Mereka menganggap saya sudah seperti orang tua atau kakak  mereka sendiri. Mereka lebih leluasa menyampaikan curhatnya kepada saya tentang apa saja daripada kepada Ibu Nyai. Kepada Ibu Nyai mereka merasa sangat enggan. Tidak seperti kepada saya. Sayapun sangat menyayangi mereka seperti saya menyayangi adik-adik atau anak-anak saya sendiri.

Dan sayapun tak segan-segan menegur mereka jika ada diantara mereka yang telat mengaji, terlalu lama berada diluar pesantren, raportnya jeblok dan lain sebagainya. Alhamdulillah mereka mudah-mudahan tak ada yang sakit hati kepada saya atas tindakan saya tersebut. Semua saya lakukan karena kasih sayang saya kepada mereka semua.

Saya ingin mereka semua menjadi anak-anak yang berprestasi, berakhlaqul karimah, yang bisa membanggakan kedua orang tuanya, dan membanggakan almamaternya, Pondok Pesantren Putri dimana mereka mencari ilmu akherat disini.

Bahkan saya, di pondok pesantren bagaikan jam weker saja. Banyak anak-anak yang minta dibangunkan dari tidurnya. Padahal permintaan mereka berbeda-beda. Ada yang saking capeknya di sekolah, belum jamaah isya sudah tak dapat menahan rasa kantuknya. Tidurlah mereka dan sebelumnya mereka berpesan kepada saya, agar ketika adzan isya berbunyi nanti minta dibangunkan. Sepertinya setiap jamnya ada saja yang minta dibangunkan. Selama 24 jam ! Lalu kapan saya sempat tidurnya ?

Dulu saya diberi kepercayaan oleh Ibu Nyai untuk mengelola kantin Pondok. Sebelumnya tak ada kantinnya. Sebelum saya membangun kantin, banyak anak-anak yang sering sakit. Karena tidak teratur makannya, dan mungkin mereka membeli makanan yang tidak sehat diluaran. Kadang-kadang sore hari sepulang sekolah, mereka mencari makanan diluar dan ternyata sudah habis, sehingga malam itu mereka terpaksa tidak makan karena diluar sudah tidak mendapatkan makanan. Kasihan sekali. Tambahan lagi, pulang dari mencari makanan, perut lapar karena kehabisan makanan, sesampai di pondok mereka harus mengikuti jamaah sholat maghrib, disambung dengan pengajian hingga terkadang sampai jam 11 malam, jika sedang ada bedah kajian kitab. Berat sekali kan ? Bahkan seringkali banyak yang telat sholat jamaah maghrib karena, mereka terpaksa agak jauh jalan kaki mencari makanan diluar pondok.

Ya Allah, ternyata betapa beratnya perjuangan mencari ilmu akherat. Tak semudah yang dibayangkan. 

Jika kiriman dari orang tua di kampung terlambat datang, lebih memprihatinkan lagi, mereka makan dengan sangat dihemat. Yang biasanya makan 3 kali sehari, mereka hanya makan 2 kali atau bahkan hanya sekali dalam satu hari. Namun saya salut sekali kepada rasa tawakkal mereka dalam berjuang meraih ilmu di pondok.

Dengan dasar berbagai pertimbangan itulah akhirnya saya memberanikan diri untuk usul kepada ibu Nyai agar diselenggarakan kantin didalam pondok untuk membantu anak-anak, agar mereka tidak susah payah mencari makanan keluar pondok. Yang mana hal ini sering mengakibatkan anak-anak jatuh sakit, juga terlambat mengikuti kegiatan belajar mengajar di pondok. Tak disangka bahwa Ibu Nyai ternyata sangat menyambut baik usulan ini, bahkan kemudian langsung memberikan modal untuk memulainya. Dan mempercayakan pengelolaannya kepada saya.

Alhamdulillah, dengan adanya kantin pondok maka anak-anak menjadi lebih sehat, mereka menjadi jarang sakit, kegiatan belajar mengajar juga menjadi lebih lancar. Kecuali itu, sayapun menjadi lebih dekat dengan anak-anak, karena mereka semua saya libatkan dalam kegiatan memasak dikantin secara bergiliran, dengan mengambil waktu kosong masing-masing. Alhamdulillah..

Nah ini nih yang mau saya ceriterakan kepada Anda...Di lingkungan pondok saya melihat ada suatu bangunan rumah kecil mirip sebuah kamar mandi besar. Kira kira ukuran 3 x 5 meter, yang dibangun berdiri sendiri terpisah dengan bangunan-bangunan gedung pondok yang lain.

Rumah kecil yang mirip kamar mandi ini selalu menarik perhatian saya karena selama saya mondok di pesantren ini hampir satu tahun lamanya tak pernah dipergunakan juga tak pernah dibuka.

Bangunannya terbuat dari dinding bata yang telah dilapisi dengan penutup semen, bahkan luarnya dicat dengan warna putih. Atapnya dari genting biasa seperti genting-genting pada umumnya yang dipakai untuk rumah-rumah penduduk. 

Bangunannya sangat sederhana tak ada yang menarik. Diatas bangunan batu bata, antara bangunan batu bata dengan kerangka penyangga genting dibuat terbuka, jadi kalau ada orang yang menjulurkan kepalanya melewati atas bangunan melihat kedalam bagian disebelah dalam bangunan tentu akan bisa melihat apa gerangan isi yang ada didalamnya.

Namun entahlah, setiap kali hendak menanyakan kepada ibu Nyai, sebenarnya rumah kecil itu fungsinya untuk apa, mengapa tak pernah dibuka sama sekali ataupun dibersihkan,  kecuali enggan, saya selalu lupa-lupa terus untuk menanyakannya.

Suatu hari ketika ada kesempatan kerja bakti didekat bangunan rumah kecil itu, saya memberanikan diri bertanya kepada Ibu Nyai tentang rumah kecil itu.
“Ibu, mohon maaf, saya mau nanya, rumah kecil itu sebenarnya bangunan apa kok tak pernah difungsikan dan tak pernah dibersihkan atau bahkan tak pernah dibuka sama sekali to Bu ?” Tanya saya sambil menunjuk bangunan rumah kecil yang ada didekat saya dan Ibu Nyai berdiri.

“Oh itu gudang kok Mbak Nien, memang sudah puluhan tahun tak pernah dibuka dan digunakan, kenapa to mbak ? sebenarnya sih ya bisa digunakan untuk ngaji anak-anak, lah tapi siapa yang mau membersihkan ?” Ibu Nyai menjelaskan dan bahkan balik bertanya kepada saya, mungkin pertanyaan saya menarik perhatian beliau dan membuat penasaran.

Mendengar penjelasan Ibu Nyai seperti itu, spontanitas tiba-tiba saya seperti mempunyai semangat ingin membersihkan rumah kecil yang sekarang menjadi gudang tua itu agar bisa dimanfaatkan untuk mengaji anak-anak.

“Kalau begitu bolehkah saya bersihkan gudang itu Bu ?” Pertanyaan saya ternyata sangat mengejutkan Bu Nyai.

“Lhah benar apa mbak Nien? Gudang itu kotor sekali lho mbak, dan tentu sangat banyak kumannya karena sudah puluhan tahun tak pernah dibuka sama sekali” Ibu Nyai sepertinya tak rela jika saya membersihkan gudang itu nanti malah menjadi sakit terkena kotoran atau kuman-kuman yang ada didalamnya.

“Insya Allah, bismillah tidak apa-apa Bu, jika Ibu telah mengijinkan, saya akan bersihkan dengan anak-anak sekarang juga pumpung ini sedang kerja bakti” Kata saya kepada Ibu Nyai.

“Ya sudah silahkan kalau maunya mbak Nien seperti itu, tapi ibu tidak menyuruh lho ya? “ Sekali lagi Bu Nyai menekankan lalu sambil memanggil anak-anak untuk ditugasi memabantu saya membersihkan gudang itu.

Aksi pembersihan gudangpun dimulai, setelah Ibu Nyai memberikan kuncinya kepada saya. Beberapa anak yang senior saya kerahkan untuk membantu saya. Mereka saya minta mengenakan kain untuk menutup hidung, agar terhindar dari debu yang ada dalam gudang.

Begitu pintu gudang saya buka Ya Allah…dari dalam gudang seperti ada uap busuk yang menghembus keluar. Anak-anak saya larang untuk masuk kedalamnya. Saya biarkan lebih dahulu pintu gudang terbuka, agar ada sirkulasi udara. Agar udara gudang keluar. 

Kami menggunakan sekop aspal yang memang semua peralatan kebersihan lengkap tersedia di pondok kami.

Barang-barang yang sekiranya terlalu kotor atau menjijikkan kami ambil dengan sekop, bukan dengan tangan. Layak saja ada bau busuk yang menyengat karena ada bangkai tikus yang sepertinya baru beberapa hari matinya. Debu tebal serta sarang laba-laba menutupi pandangan mata kami, sehingga bentuk barang-barang yang ada dalam gudang hampir tidak kelihatan.

Pelan, penuh semangat kami bekerja. Lama-lama berkurang juga tumpukan barang-barang yang ada dalam gudang. Tiba-tiba pandangan mata saya tertumbuk pada benda kecil seperti tasbeh yang sudah tidak terlihat terbuat dari apa karena tertutupi debu tebal yang melapisinya. Seperti tasbeh itu dibungkus dengan tanah dari lempung yang sudah memadat dimakan waktu. Mungkin akibat debu tebal yang bercampur dengan tetesan air hujan yang jatuh dari genting gudang yang bocor. Karena tasbeh terlihat basah.

Saya ambil untaian tasbeh itu penuh penasaran. Anak-anak juga melihatnya. Bahkan kegiatan bongkar gudang sempat terhenti beberapa saat, karena anak-anak kemudian merubung saya ingin tahu apa yang saya temukan dalam gudang itu. Untung aksi mengeluarkan barang-barang dari gudang sudah hampir selesai, tinggal ada beberapa barang yang belum sempat dikeluarkan. Ada sepeda kecil tua, panci-panci bocor dan kain-kain gordyn usang yang sepertinya sudah tak bisa dipakai lagi.

Tanpa diperintah ada seorang anak santri yang telah mengambilkan seember besar air untuk membersihkan tasbeh itu. “Dicuci mbak, dicuci tasbehnya” katanya kemudian. Anak-anakpun ramai merubung saya untuk mencuci tasbeh tersebut. Anak-anak riuh bagaikan mendapat suatu kesenangan. Jadi ingat suasana kerja bakti ketika saya sekolah di Sekolah Dasar dulu.

Lalu tasbeh itupun saya cuci dengn hati-hati takut rontok, karena benangnya sudah sangat tua. Lah saya kaget, demikian juga anak-anak yang menyaksikan disekitar saya, karena air dalam ember itu menjadi merah seperti darah. Saya terkesiap, jangan-jangan ini tasbeh goib yang tak boleh diperlakukan dengan sembarangan.

Nantikan, bersambung ke bagian ke-2. Alhamdulillahirabbil'alamiin...

Jika anda sedang sakit maag dan belum sembuh-sembuh, apapun yang Anda keluhkan akibat sakit maag, tak perlu Anda berkecil hati, karena kini telah hadir bagi Anda, buku Panduan untuk Kesembuhan Sakit Maag, yang alhamdulillah telah banyak membantu para penderita sakit maag di Seluruh Indonesia, sembuh dari sakitnya. kini giliran Anda insya Allah mudah-mudahan sembuh seperti mereka. PESAN DAN MILIKI SEGERA agar tidak kehabisan karena sangat banyak peminatnya.

Salam Syukur Selalu,
NiniekSS.
Labels: Kisah Menarik, Kisah Nyata

Thanks for reading Menemukan Tasbeh Merah delima Bagian 1. Please share...!

0 Komentar untuk "Menemukan Tasbeh Merah delima Bagian 1"

Back To Top